Bolehnya Imam Mengeraskan Bacaan Basmalah Dalam Rangka Menginginkan Maslahat yang Lebih Besar
Hal itu dilakukan dengan tujuan antara lain: guna mengambil hati jama’ah masjid. Karena hadits yang menjelaskan dikeraskannya bacaan basmalah fatihah pun shahih, meskipun kekuatannya dibawah kekuatan hadits yang menerangkan disirrkannya (dilirihkannya) bacaan basmalah.
Hadits yang menyebutkan bolehnya menjahrkan basmalah dalam fatihah shalat adalah:
“Nua’im al-Mujammir berkata: Suatu saat aku shalat dibelakang Abu Hurairah, beliaupun membaca bismillahirrahmanirrahim kemudian membaca surat al-fatihah ... setelah selesai salam dia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya diantara kalian akulah orang yang (shalatnya) paling mirip dengan (cara) shalat Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” (HR. An-Nasa’ie [II/34], Ibnu Khuzaimah [I/232 no.499], dan yang lainnya, disahihkan oleh Al-hakim dan adz-Dzahabi menyepakatinya, ibnu katsir dalam tafsirnya [I/117] berkata: hadits ini disahihkan oleh Daruqhutni, alkhatib, al-baihaqi dan yang lainnya)
Imam Ibn Khuzaimah rahimahulloh mengambil kesimpulan dari hadits ini dan hadits-hadits yang lain, “Bab penyebutan dalil yang menerangkan bahwa menjahrkan (mengeraskan) dan mensirrkan (melirihkan) bismillahirrahmanirrahim kedua-duanya diperbolehkan, tidak ada satupun yang terlarang. Dan hal ini termasuk (jenis) perbedaan yang diperbolehkan.” [Shahih Ibnu Khuzaimah (I/232)]
Oleh karena itu Imam Ibnul Qayyim rahimahulloh menerangkan, “Dan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terkadang mengeraskan bacaan bismillahirrahmanirrahim, dan beliau lebih sering untuk melirihkannya daripada mengeraskannya. [Zaad al-Ma’aad (I/199)]
Al-Hafidz az-Zaila’i rahimahulloh menjelaskan, “Sebagian ulama berpendapat akan dikeraskannya – yakni basmallah – untuk menghindari timbulnya fitnah, dan seorang insan boleh untuk meninggalkan suatu amalan yang afdhal guna menarik hati dan mewujudkan persatuan serta jika khawatir menjadikan umat lari. Sebagaimana dulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak merenovasi ulang Ka’bah diatas pondasi yang dibangun nabi Ibrahim, dikarenakan orang-orang Quraisy belum lama meninggalkan kejahiliyahan mereka, dan beliau khawatir mereka akan menjauh. Beliau Sahallallahu ‘Alaihi Wasallam memandang bahwa maslahat persatuan harus dikedepankan daripada maslahat merenovasi Ka’bah. Tatkala Ibnu Mas’ud menjadi makmum di belakang Utsman (padahal saat itu Utsman tidak mengamalkan sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengqasharkan shalat selama di Mina) ar-Rabi’ pun mengingkarinya. Maka Ibnu Mas’ud pun menjawab, “Perselisihan adalah tercela!”.Imam Ahmad dan ulama lainnya telah menjelaskan hal yang serupa dalam masalah basmalah dan menyambung witir (tiga raka’at menjadi satu salam). Ini semua menunjukkan bolehnya mengerjakan amalan yang kurang afdhal dan meninggalkan yang lebih afdhal, dalam rangka menarik hati para makmum atau guna mengenalkan sunnah kepada mereka, atau untuk tujuan-tujuan lain. Ini merupakan kaidah yang amat agung guna mencegah timbulnya fitnah.” [Nashb ar-Rayah (I/328)]
[Disadur dari “14 Hikmah dalam Berdakwah”, oleh Abdulloh Zain, MA. Penerbit Pustaka Muslim.]
Tanbih :
Namun perlu digaris bawahi bahwa melirihkan bacaan Basmalah itu yang lebih afdhal, berdasarkan dalil yang ada. Walluhu ta’ala a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Memberi Respon yang Baik