Rabu, 01 Agustus 2012

Jangan Coba-coba Sombong

Karena Saya Orang Sombong

Kejadian itu bulan puasa, entah tahun berapa. Saya masih SMA di Situbondo, Jawa Timur. Karena kesal kepada tukang azan di masjid besar, belakang gedung NU, dekat rumah, saya menyodorkan diri untuk menjadi muadzin.

Pasalnya, suara muadzin yang rutin berkumandang di masjid itu sama sekali ndak asyik. Saya merasa suara saya jauh lebih bagus. Napas sayapun jauh lebih panjang. Maka saat ashar di bulan puasa, saya yang adzan.




Hampir seluruh warga Situbondo mendengar suara saya menyerukan panggilan shalat. Maklum, corong pengeras suaranya memang dipasang tinggi-tinggi dan disetel kencang pula. Dari awal azan suara saya mengalun naik turun, meliuk-liuk. Semakin banggalah saya, semakin percaya diri. Weladalah ... Ternyata, pas bagian Hayya ‘alasshalah – Hayya ‘alalfalah, saya menjadi looping muter-muter terus enggak selesai-selesai. Wah, pasti saya terus mbulet disitu, andai pundak saya tak ditepuk dari belakang dan diingatkan oleh jama’ah yang akan shalat ashar.

Berarti kita memang tak boleh sombong. Sekarang setiap mau sombong, saya sering terenyak oleh peristiwa itu. Kadang, kenangan tersebut berhasil mengenyahkan rasa takabur saya, meski lebih sering tetap saja saya dengan tertatih-tatih tak kuasa mengusir kekibiran itu.

Lihatlah, saya pernah dengan jemawa mengatakan bahwa umrah atau naik haji tidak perlu dilakukan oleh orang Indonesia yang sebagian warganya masih miskin-miskin. Mending duit itu dikumpulkan, dipakai untuk saweran membangun sekolah gratis, rumah sakit gratis, dan lain-lain.

Ternyata, disuatu bulan puasa, belum lama ini, saya tak bisa menolak ajakan umrah. Alasanya tak bisa saya kemukakan disini. Intinya, sudah jatuh bangun menolaknya, ajakan umrah tersebut akhirnya tak bisa saya tolak, mata saya berkaca-kaca menyesali kesombongan saya anti-umrah.

Mungkin umrah atau naik haji tetaplah penting, asal bukan untuk kebahagiaan diri sendiri. Asalakan kebahagiaan itu kemudian membuat kita bergairah untuk berbuat sesuatu bagi kebahagiaan sesame. Jika untuk kebahagiaan sendiri, apa beda agama dengan narkoba?

Sambil bersandar di tiang Masjidil Haram, sambil menyaksikan orang lain dari berbagai Negara tawaf, mata saya berkaca-kaca karena menemukan pikiran soal umrah dan kebahagiaan buat sesame. Tetapi, sebagian juga karena menyesal telah berbuat jemawa, walau telah diingatkan oleh insiden azan di Kota Santri, Situbondo. 

(Sudjiwo tedjo, Jawa Pos 1 Agustus 2012)

·        * Pelajaran dipetik dalam kisah ini, bukanlah sosok siapa pelaku disini, tapi lebih pada bagaimana keburukan dan dampak dari sikap Sombong, terlebih lagi sikap sombong (meremehkan) dalam perkara agama.

P Pinjam gambar dari sini
http://www.frewaremini.com

| Mau Kembali Keberanda? |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Memberi Respon yang Baik